Khamis, 25 Mac 2021

Perkara Rahasia (sir – asrar)

Dalam kehidupan sehari hari, kta mengenal istilah RAHASIA. Artinya perkara yang tidak boleh diketahui umum. Jika kita punya teman dekat, tentu saja kita akan tahu sedikit banyak tentang rahasia kehidupan pribadinya. 

Dari perkara yang membanggakan sampai dengan perkara yang memalukan jika diketahui orang. Sebagai teman / sahabat jika kita tahu sesuatu tentang rahasia sahabatnya, maka kita wajib menyimpan rahasia tersebut serapat rapatnya, sehingga tak ada fihak lain yang tahu kecuali kita saja. 

Semakin kita mampu menjaga rahasia teman / sahabat tersebut, maka semakin terbuka teman kita untuk membuka rahasia rahasia pribadi lainnya yang lebih privasi bahkan sampai pada kondisi tidak ada lagi istilah rahasia antara sahabat tersebut dengan kita, tapi jika kita membocorkan satu saja rahasia teman / sahabat kita, maka selamanya kita sulit untuk dipercaya lagi, dan jangan berharap untuk mendapatkan lagi rahasia rahasia lainnya, karena kita dinilai telah BERHIANAT oleh sahabat kita. 

Resiko terkecilnya kita akan dijauhi, bahkan puncaknya kita akan dibuang atau dikeluarkan dari lingkaran kehidupan sahabat kita tersebut.

Membocorkan rahasia pribadi sahabat, seperti itu akibatnya. Lalu bagaimana jika kita membocorkan rahasia organisasi, perusahaan, atau dalam skala yang lebih besar, kita membocorkan rahasia NEGARA.

 Resikonya adalah nyawa diri pribadi kita bahkan nyawa orang orang terdekatpun akan terancam karenanya.

Jika membocorkan rahasia negara tergolong PENGHIANATAN yang sulit diterima taubatnya. Lalu bagaimana jika membocorkan Rahasia Allah SWT?.... 

adakah taubatnya?.... diantara rahasia Allah SWT, adalah rahasia ASMA’Nya yang diberikan kepada hamba hamba pilihannya. 

Termasuk juga kasyaf, mukjizat para Nabi dan karomah para Wali-Nya. Semua adalah rahasia Allah SWT, yang dikenal dengan istilah Sirrur Rabbani atau ILMU ASRAR / RAHASIA. 

Jika seorang hamba mendapatkan ilmu rahasia tersebut, maka tidak dibenarkan dia memberi tahu orang lain kecuali dia mendapat izin untuk mengamalkan sendiri dan mengajarkan kepada orang lain.

 Walaupun dia punya izin mengajarkan, tidak semua orang boleh diberi kecuali mereka yang terpilih dan pantas untuk menerimanya.
Ilmu ASRAR termasuk FADLAL dari Allah SWT, hanya diberikan kepada yang dikehendaki bukan kepada yang menghendaki. Orang yang ambisi dengan ilmu asrar ini jika diberi bisa membawa mudharat kepada yang bersangkutan bahkan juga kepada orang lain. 

Dalam Al Qur’an, Allah SWT. mencontohkan bahayanya ilmu asrar dengan cerita Nabiyullah Yusuf as, 

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَباً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ ﴿٤﴾ قَالَ يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيْداً إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٥﴾﴿يوسف: ٤- ٥﴾

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."(4) Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."(5)-(QS.Yusuf:4-5)

Dalam qisshah tersebut beliau menceritakan mimpinya kepada orang tepat, yaitu Nabi Ya’qub ayahanda beliau sendiri. Beliau menjelaskan takwil dari mimpi tersebut dan melarang menceritakan kepada orang lain walaupun itu saudara sendiri. Nabi Yusuf as, menjaga amanat tersebut tapi ternyata ada fihak lain yang membocorkan, akibatnya Nabiyullah Yusuf mengalami berbagai penderitaan yang panjang dari terbuang jauh dari keluarga, jadi budak, mendapat fitnah keji dan masuk penjara.

Hadits Nabi SAW, yang melarang mengajarkan ilmu khusus secara sembarangan juga ada, yaitu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: عحَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ : فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ. (روى البخاري)

Imam al-Bukhari meriwayatkan (120) dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:“Aku menghafal dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dua bejana ilmu. Bejana yang satu kusebarkan, sedangkan yang satu bejana lagi, seandainya aku sebarkan, niscaya  terputuslah tenggorokan ini.”

Maksudnya orang orang tidak akan percaya, lalu mengingkari dan akan memenggal leher beliau karena dianggap menyebarkan kebohongan atas nama agama. 

Hal ini pernah dialami oleh guru besar kita Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra.

 beliau pernah dipenjara atas usulan Majlis Ulama Tilimsan Aljazair karena beliau mengklaim bertemu Rasulullah SAW dalam sadar bukan mimpi. (dikutip dari kitab Ta’riful Haqidil Jani – Syd Ahmad Al Hafidz Syaikhut Thariqah At Tijaniyah Mesir).

Dalam riwayat sufi, bisa kita baca biografi Khalifah ‘aam Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijani ra, Sayyidi Ali Harazim Barradah ra. Ketika beliau membaca Ismul A’dzam di ruang khalwat Sayyid Ibrahim Ar Riyahi di Tunisia, beliau mencair laksana transformer selama berhari hari, dan baru kembali lagi seperti semula atas izin llah SWT. 

demikian pula beliau wafat gara gara membaca Ismul A’dzam di padang Badar dalam perjalanan ziarah ke Rasulullah SAW.
Ketika beliau membaca Ismul A’dzam, beliau berada dalam kegaiban / pingsan selama berhari hari.

 Setelah beliau pingsan selama seminggu lebih, maka para shahabat yang mengiringi / mengantar beliau mengira beliau benar benar wafat sehingga beliau dikurkan dalam kondisi mati suri / pingsan.  

Dengan karomah dan kasyafnya yang sempurna Sayyidi Syeikh Ahmad At Tijani ra, memantau perkembangan kondisi murid kesayangannya yang sedang pinsan di Padang Badar – Hijaz dari kejauhan kota Fes Maroko. Beliau tidak berkenan shalat ghaib, kecuali setelah Sayyidi Ali Harazim Barradah ra, benar benar wafat dalam kuburnya beberapa hari setelah dikubur hidup hidup karena ketidak tahuan para shahabat yang mengiringinya.

Sayyidi Ali Harazim Barradah ra. wafat di Badar waqilah 14 tahun mendahului guru dan kekasihnya Sayyidi  Ahmad bin Muhammad At Tijani radliyallaahu ‘anhu. 

Dimana susunan Dzikrul WADZIFAH adalah Istighfar (astaghfirullah saja) 100x, Shalawat fatih 100x, Laailaaha illallaah 200x serta Jawharatul kamal 11x, dan HAILALAH ba’dal ashri yaumil Jum’ah pada waktu itu hukum keduanya BELUM WAJIB.

 Sehingga fiqih Tijaninya jika berpedoman hanya dengan kitab Jawahirul Ma’ani, maka kewajiban ikhwan cukup baca wirid lazim pagi sore saja. 

Dan kitab Jawahirul ma’ani sengaja dibiarkan sebagaimana aslinya sebagai dokumen sejarah.

Setelah wafatnya Sayyid Ali Harazim Barradah, Dzikrul wadzifah (berjamaah tiap hari) dan ijtima’ baca dzikrul Hailalah tiap ba’da ashar hari Jumat  DIWAJIBKAN, artinya siapapun yang tidak membaca wadzifah tiap hari dan tidak membaca dzikir hailalah tiap hari Jum’at sore, maka dia tidak tergolong sebagai FUQARA’ / IKHWAN TIJANI.

 Penjelasan masalah fiqhuth thariqah ini selanjutnya secara khusus ada di kitab Rimah yang ditulis oleh Al Imam Al Syeikh Umar Al Fithi murid Sayyid Muhammad Al Ghali Abu Thalib radliyallaahu anhuma. Sehingga pada kitab kitab Jawahirul Ma’ani cetakan lama, kitab Rimah selalu disandingkan dengan kitab Jawahirul Ma’ani. 

Selanjutnya fiqh thariqah Tijani yang telah sempurna tersebut  ditulis dalam bentuk kitab nadzam / syair dengan nama kitab Munyatul Murid. Kitab ini selanjutnya disyarahi oleh Sayyid Al Arabi bin Muhammad Saih ra. dengan nama Bughyatul Mustafid lisyarhi Munyatil Murid. Dan kitab Bughyah ini oleh para Syurofa’ At Tijaniyin dan para kibar Masyayikh Thariqah At Tijaniyyah dinyatakan sebagai kitab Bukharinya Thariqah Tijani.
والله أعلم
Ditulis oleh Syekh Muhammad Yunus A Hamid

Tiada ulasan:

Catat Ulasan