Khamis, 7 Mac 2019

KESUNNAHAN PUASA RAJAB

Ada pertanyaan, bagaimana hukum puasa Rajab?

Jawaban:

Mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i yang berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.

Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.

Madzhab Hanafi

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:

( اَلْمَرْغُوْبَاتُ مِنَ الصِّيَامِ أَنْوَاعٌ ) أَوَّلُهَا صَوْمُ الْمُحَرَّمِ وَالثَّانِيْ صَوْمُ رَجَبَ وَالثَّالِثُ صَوْمُ شَعْبَانَ وَصَوْمُ عَاشُوْرَاءَ )

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”

Madzhab Maliki

Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ وَشَعْبَانُ ) يَعْنِيْ : أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ صَوْمُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ وَهُوَ أَوَّلُ الشُّهُوْرِ الْحُرُمِ ، وَرَجَبَ وَهُوَ الشَّهْرُ الْفَرْدُ عَنِ اْلأَشْهُرِ الْحُرُمِ ) اهـ وَفِي الْحَاشِيَةِ عَلَيْهِ : ( قَوْلُهُ : وَرَجَبُ )، بَلْ يُنْدَبُ صَوْمُ بَقِيَّةِ الْحُرُمِ اْلأَرْبَعَةِ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ فَرَجَبُ فَذُو الْقَعْدَةِ فَالْحِجَّةِ ) اهـ

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”

Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).

Madzhab Syafi’i

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

( قَالَ أَصْحَابُنَا : وَمِنَ الصَّوْمِ الْمُسْتَحَبِّ صَوْمُ اْلأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَهِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ، وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ، قَالَ الرُّوْيَانِيُّ فِي الْبَحْرِ : أَفْضَلُهَا رَجَبُ، وَهَذَا غَلَطٌ، لِحَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِيْ سَنَذْكُرُهُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى أَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ ) اهـ

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.

DALIL PUASA RAJAB

Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:

Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ كَمَا فِي الْفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةِ الْكُبْرَى 2/53 :( وَيُوَافِقُهُ إِفْتَاءُ الْعِزِّ بْنِ عَبْدِ السَّلاَمِ فَإِنَّهُ سُئِلَ عَمَّا نُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْمُحَدِّثِيْنَ مِنْ مَنْعِ صَوْمِ رَجَبَ وَتَعْظِيْمِ حُرْمَتِهِ وَهَلْ يَصِحُّ نَذْرِ صَوْمِ جَمِيْعِهِ فَقَالَ فِيْ جَوَابِهِ :نَذْرُ صَوْمِهِ صَحِيْحٌ لاَزِمٌ يُتَقَرَّبُ إِلىَ اللهِ تَعَالَى بِمِثْلِهِ وَالَّذِيْ نَهَى عَنْ صَوْمِهِ جَاهِلٌ بِمَأْخَذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ وَكَيْفَ يَكُوْنُ مَنْهِيًّا عَنْهُ مَعَ أَنَّ الْعُلَمَاءَ الَّذِيْنَ دَوَّنُوْا الشَّرِيْعَةَ لَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْهُمْ اِنْدِرَاجَهُ فِيْمَا يُكْرَهُ صَوْمُهُ بَلْ يَكُوْنُ صَوْمُهُ قُرْبَةً إِلىَ اللهِ تَعَالىَ لِمَا جَاءَ فِي اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ مِنَ التَّرْغِيْبِ فِي الصَّوْمِ مِثْلِ : قَوْلِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { يَقُوْلُ اللهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آَدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ } وَقَوْلِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ } وَقَوْلِهِ { إِنَّ أَفْضَلَ الصِّيَامِ صِيَامُ أَخِيْ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا } وَكَانَ دَاوُدُ يَصُوْمُ مِنْ غَيْرِ تَقْيِيْدٍ بِمَا عَدَا رَجَبًا مِنَ الشُّهُوْرِ ) اهـ

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud ‘alaihissalam berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”

Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):

( وَقَدْ وَرَدَ مَا يَدُلٌّ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ صَوْمِهِ عَلىَ الْعُمُوْمِ وَالْخُصُوْصِ : أَمَّا الْعُمُوْمُ : فَاْلأَحَادِيْثُ الْوَارِدَةُ فِي التَّرْغِيْبِ فِيْ صَوْمِ اْلأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَهُوَ مِنْهَا بِاْلإِجْمَاعِ . وَكَذَلِكَ اْلأَحَادِيْثُ الْوَارِدَةُ فِيْ مَشْرُوْعِيَّةِ مُطْلَقِ الصَّوْمِ ... ) اهـ

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”

Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ « وَمَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى جِئْتُكَ عَامَ الأَوَّلِ. قَالَ « فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ ». قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ». ثُمَّ قَالَ « صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ». قَالَ زِدْنِى فَإِنَّ بِى قُوَّةً. قَالَ « صُمْ يَوْمَيْنِ ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ ». وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا.

Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439): “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ ) رواه النسائي

“Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.” (HR. al-Nasa’i (4/201).

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”

Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Cpf

Tiada ulasan:

Catat Ulasan