Khamis, 21 Mac 2019

WALI QUTUB ADALAH FITRAH SETIAP INSAN

WALI QUTUB ADALAH FITRAH SETIAP INSAN
======================================

Samahatul Imam Sholahuddin At Tijani Al Hasani Ra Berkata:

Rasulullah SAW bersabda:

{ما من مولود إلا يولد على الفطرة. فأبواه يهودانه، أو ينصرانه، أو يمجسانه. كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء، هل تحسون فيها من جدعاء}

"Tiadalah bayi yg dilahirkan, kecuali ia terlahir dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yg menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti binatang ternak yang terlahir (sempurna), adakah telinganya terpotong" (HR. Imam Bukhari)

Lalu Abu Hurairah membacakan firman-Nya:

{فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم}

"(Tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah (kepada manusia). Itulah agama yang lurus" (QS. Ar-Rum: 30)

Yang dimaksud fitrah adalah Qutbaniyyah (waliyullah) nan agung. Setiap orang adalah qutb (kekasih Allah) pada masanya; adalah imam di zamannya; adalah raja di tempatnya.

Allah tidak mengutus seorang rasul kecuali untuk kamu. Tidak memilih seorang waliyullah melainkan untuk membimbingmu. Tidak mengajarkan para ulama selain untuk menunjukimu jalan. Dan tidak juga memberi kekuasaan pada raja kecuali untuk melindungimu.

Allah juga tidak menciptakan langit dan bumi beserta isinya, tidak menciptakan dunia dan akhirat beserta isinya, kecuali sebagai bentuk perhatian dan kepudulian-Nya untuk kamu seorang.

Kamu adalah tujuan utama dalam segala penciptaan-Nya. Kamu adalah wali dari segala yang ada (Qutbil wujud). Kamu begitu mulia di sisi-Nya. Hanya saja, kamu tiada tahu, bahkan lalai pada kemuliaan martabatmu.

Maka barang siapa yang masih berada dalam fitrah awalnya, itu artinya dia berada dalam Qutbaniyyahnya. Sebaliknya, siapa yang jauh dari fitrahnya, maka jauh jugalah jarak Anatar dirinya dan potensi Qutbaniyyah yang dimilikinya.

lihatlah betapa besar upaya para waliyullah agar bisa kembali pada kefitrahan awal itu. Namun untuk bisa sampai (wusul), tetap saja membutuhkan pertolongan untuk bisa kembali pada kefitrahan diri mereka.

Seorang bayi terlahir sebagai waliyullah bagi para malaikat. Mereka bersujud kepada si bayi sebagai wujud penghormatan dan tawaduk atas tingginya derajat Qutbaniyyah bayi yang baru dilahirkan. Meskipun kelak dia tercatat sebagai seorang yang kafir.

Allah SWT berfirman:

{الذي أحسن كل شئ خلقه وبدأ خلق الإنسان من طين}

"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah" (QS. As-Sajdah: 7)

Itulah wujud Ihsan dari Allah bagi seluruh makhluk. Termasuk juga penciptaan manusia dari tanah. Dan setelah ditiupkannya ruh ilahi dalam tubuh manusia, maka itu merupakan satu ihsan khusus dari Allah yang tidak ada pada makhluk lainnya.

Itu juga merupakan satu kemuliaan dari Allah bagi manusai yang tidak terelakkan. Sebagaimana firman-Nya:

{ولقد كرمنا بني ٱدم}

"Sungguh Kami telah memuliakan anak keturunan Adam" (QS. Al-Isra': 70)

Tidak dibedakan dalam pemuliaan ini antara yang mukmin dan yang kafir.

Allah tidak mengutus Rasulullah bagi kaum kafir kecuali sebagai wujud perhatian-Nya kepada mereka. Bukankah neraka juga disiapkan sebagai wujud perhatian Allah untuk kualitas diri kaum kafir; agar dapat memurnikan pribadi mereka, hingga bisa kembali pada kefitrahan diri sebagaimana awal penciptaan. Setelah sebelumnya ternoda oleh  kotoran dan kesalahan. Dan agar mereka kembali pada posisi awal sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم}

"Katakan (wahai Muhammad), kepada para hamba-Ku yang telah melampaui batas (mendolimi) diri mereka" (QS. Az-Zumar: 53)

Kedoliman orang-orang kafir yang melampaui batas pada diri mereka tiada lantas melepaskan mereka dari (nasab) posisi sebagai hamba Allah.

Nasab sebagai hamba Allah adalah seagung-agungnya nasab  dan yang hanya diperuntukkan bagi manusia, secara mutlak.

Allah telah menjadikan mereka (kaum kafir) masuk dalam cakupan nasab penghambaan atas Dzat-Nya; yakni Abdullah. Bukankah hamba raja berbeda dengan hamba tukang roti.

Allah berfirman:

{إن عبادي ليس لك عليهم سلطان}

"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tiadalah bahi kamu (Iblis) memiliki kuasa atas mereka" (QS. Al-Hijr: 42)

Bagaimana mungkin syaitan bisa menguasai atas makhluk yang tercatat sebagai hamba Dzat Yang Maha Kasih?!

Bagaimana mungkin syaitan bisa mengalahkan hamba yang sejatinya merupakan qutb (waliyullah)?!

{فطرت الله التي فطر الناس عليها}

"(Tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya" (QS. Ar-Rum: 30)

Allah menisbatkan kefitrahan manusia pada Dzat-Nya, dan mengidofahkannya dengan asma-Nya:

(فطرت الله)

Cinta ruh untuk ruh adalah cinta fitrah...

Sebiji cinta yang dari ruh, serupa dengan kesempurnaan cinta dari hati. Dan sebiji cinta dari hati, sebanding dengan semua cinta yang tampak antara satu dengan lainnya.

Maka Dzat yang ruh-Nya dianugrahkan untukmu, lantas kamu mencintai-Nya dengan fitrahmu, maka sungguh kamu telah kembali pada qutbaniyyahmu yang pertama. Dan kamu berdua (ruhmu dan Dzat-Nya) menyatu dalam satu sibghah (aroma/celupan/sentuhan)

Firman-Nya:

{صبغة الله ومن أحسن من الله صبغة}

"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah?!" (QS. Al-Baqarah: 138)

Maka ber-sibghahlah dengan cinta yang fitrah, engkau akan sampai dan terhubung.

Betapa banyak para murid yang mencapai derajat Qutbaniyyah karena kecintaan mereka pada sang guru (Syaikh). Meski pun sang guru masih belum sampai pada derajat ihsan. Karena fadilah Allah, para murid dapat kembali pada kefitrahan mereka, yakni fitrah Qutbaniyyah.

Orang-orang yang hanya meng-syaikh-kan diri, berada pada serendah-rendahnya tingkatan; terbuai prasangka diri telah sampai (wusul) pada hadrah ilahiyyah. Mereka bangga dengan anggapan telah wusul, padahal sejatinya belum sampai.

Orang-orang yang meng-syaikh-kan dirinya itu berada dalam derajat yang mereka sendiri tidak mengerti.

Seorang syiakh yang melihat bahwa muridnya adalah qutb, maka Syaikh itu pun telah menjadi Qutb.

Sebaliknya, seorang Syaikh yang melihat muridnya tidak lebih hanya seorang murid, maka dia itu adalah orang yang hanya mengaku-ngaku sebagai Syaikh.

Seorang murid yang menganggap bahwa Syaikhnya seorang Qutb, dia adalah murid yang juga Qutb. Meskipun hakekatnya sang Syaikh masih belum termasuk seorang Qutb.

Allah telah menciptakan kita -pada saat penciptaan kita- sebagai Qutb. Dan tiadalah keutamaan bagi seseorang atas lainnya kecuali dengan cinta.

Barang siapa yang cintanya bertambah dan prasangkanya selalu baik, maka tinggilah kedudukan orang itu; berada dalam derajat Qutbaniyyah.

Lihatlah hakekat qutbaniyahmu. Berusahalah agar bisa kembali pada kepribadian khususmu. Dan ber-sibghahlah dalam shibghah Allah dan fitrah-Nya.
___________

Dinukil dari kitab At-Tanazzulat Al-Ilahiyyah (القطبانية هي الفطرة الأولى), karya Imam Solahuddin At-Tijani Al-Hasani Ra.

-ZUS-

Tiada ulasan:

Catat Ulasan