Rabu, 23 Januari 2019

AKIBAT_MEMBENCI_KETURUNAN_RASULULLAH_SAW

#AKIBAT_MEMBENCI_KETURUNAN_RASULULLAH_SAW

Di dalam kitab “Makrifatu Muhammad”, saya mendapati sebuah kisah menarik tentang kejadian nyata yang dikisahkan oleh ba'dhul ulama.

Terkisahlah pada zaman dahulu ada seorang ulama yang memiliki kharisma, berilmu luas, serta memiliki murid yang banyak. Namun, sayangnya dibalik jubah keulamaannya, dia tidak memiliki kebersihan hati, sehingga tidak mampu membedakan kemuliaan ahli bait Rasulillah SAW.

Pada saat yang sama di kawasan tempat tinggal ulama itu terdapat seorang habib dzurriyyat atau keturunan Rasulullah Saw yang senang berbuat maksiat, mabuk-mabukkan, serta berjudi.

Si ulama yang sedemikian tidak menyenangi para habaib itu semakin menjadi-jadi kebenciannya. Dalam setiap kesempatan ceramah maupun bertemu dengan siapa pun si ulama besar itu selalu mencela dan memaki si habib yang senang mengerjakan maksiat itu. Si ulama mengajak dan menyerukan para murid-muridnya untuk membenci dan menjauhi si habib tersebut.

Sampai pada suatu malam, sang ulama bermimpi bertemu dengan baginda Rasulullah al-Musthafa. Dalam mimpinya memang diyakini beliau adalah Rasulullah Saw. Dikuatkan dengan suara, “Inilah Rasulullah yang mulia!”

Namun sayang seribu kali sayang, mimpi mulia yang seharusnya menjadi anugerah terbesar dan idaman semua orang yang beriman justru menjadi sebuah mimpi buruk bagi sang ulama yang berbuah kekecewaan dan kesedihan. Apa pasalnya?

Dalam mimpi itu Baginda Rasulullah shallahu alaihi wassalam tidak berkenan menampakkan wajah mulianya. Baginda berpaling punggung. Si ulama pun bermohon dalam mimpinya, “Wahai Rasulillah yang mulia, mohon kiranya saya diperkenankan untuk menatap wajah mulia engkau, Rasulullah! Berilah syafaat padaku” pintanya.

Lantas apa jawaban Rasulullah dalam mimpi tersebut.
“Wahai fulan! Bagaimana mungkin aku memperlihatkan wajahku padamu, sedangkan engkau tak mengenali anak cucuku? Bagaimana mungkin aku menatapmu, sedangkan engkau memalingkan wajahmu dari menatap anak cucuku?
Bagaimana mungkin aku memberimu syafaat, sedangkan engkau memusuhi anak cucuku dan engkau mengajak orang lain untuk membenci dan menjauhi anak cucuku?!”

Demi mendengar jawaban itu, sang ulama menangis sejadi-jadinya, hingga ia terbangun dari tidurnya. Keesokan harinya, si ulama bergegas mencari seorang habib yang sering dicapnya sebagai ahli maksiat. Namun, si habib tidak didapati keberadaannya di tempat ia biasa berada. Si habib seperti menghilang di telan bumi.

Berselang beberapa minggu kemudian, tepatnya 40 hari, semenjak peristiwa mimpi itu, sang ulama mendengar kabar bahwa si habib itu meninggal dunia di sebuah masjid dalam keadaan bersujud. Si habib terlah bertaubat atas bimbingan kakeknya, Rasulullah al-Mustahafa shallahu alaihi wasallam. Masya Allah tabarakallah.

Tinggal si ulama itu dengan penuh penyesalan. Akhir dari kisah itu, Allah cabut keberkahan ilmu dari ulama itu. Murid-muidnya satu persatu berhenti dari majlis pengajiannya. Si ulama terfitnah dan dipenjarakan. Dan akhir dari perjalanan hidupanya si ulama meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.

Kisah ini bukan sebuah legitimasi dan pembenaran bahwa para ahli bait Rasulillah Saw boleh melakukan kemaksiatan serta melanggar hukum ketentuan Allah. Bukan sama sekali!

Namun, kisah ini mengajarkan kepada kita tentang sebuah pengajaran adab dan akhlak menghormati dan memuliakan ahli bait dzurriyyat Rasulullah. Sebab keberkahan ilmu, keberkahan amal shaleh, keberkahan syafaat tidak akan diperoleh, melainkan dari kecintaan dan keridhaan Rasulullah.
Salah satu jalan mencapai keridhaan tersebut adalah mencintai dan menghormati ahli bait dzurriyyat Rasulillah.

Kata guru kami Syaikhuna Al-Alimul al-Allamah Syekh Zaini Abdul Ghani beliau mengatakan, “Seseorang masih terhalang memperoleh kecintaan Rasulullah, selama masih ada permasalahan dengan ahli bait Rasulullah.”

Para habaib, para syarif, para syarifah bukanlah manusia suci yang terbebas dari dosa dan kemaksiatan. Mereka sama seperti kita. Namun membedakan antara mereka dengan kita, di dalam aliran darah dan daging mereka mengalir darah daging manusia teragung dan termulia, Rasulullah al-Musthafa.

Biarlah soal dosa dan kesalahan yang mereka lakukan menjadi urusan mereka dengan Allah dan kakeknya. Tugas kita mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk hidayah.

Oleh karena itulah, adab dan sikap terbaik kita ketika menemui mereka yang melakukan maksiat, janganlah kita ikut-ikutan memusuhi dan membenci mereka. Buru-buru memvonis mereka, menjauhi mereka.
Jangan sampai mencela dan memaki mereka. Apalagi memfitnah dan mempolitisasi mereka atas dasar dugaan yang belum pasti hingga menginginkan mereka celaka atau masuk penjara.

Hukum tetaplah hukum yang tetap dijunjung tinggi, baik hukum syariat maupun hukum konstitusi. Biarkan para pakar ahli hukum dan pihak pengadilan yang berwenang memutuskan bersalah atau tidaknya.
Sikap terbaik kita adalah mendoakan jika mereka memang benar bersalah agar Allah segera mengampuni dan memberikan hidayah.
Dan jika mereka berada di jalan yang benar, semoga Allah melindungi mereka atas kejahatan dan makar dari orang-orang yang membenci mereka. Hal ini kita lakukan semata-mata atas dasar kecintaan kita kepada Rasulullah shallahu alaihi wassalam.

Sekali lagi, sikap ini bukan pengkultusan terhadap ahli bait keturunannya, namun sebuah sikap adab cara menghormati dan memuliakan Rasulullah shallahu alaihiwasallam.

Bukankah Rasulullah tidak pernah meminta apapun dari perjuangan beliau, melainkan agar kita umatnya menyanyagi dan memuliakan anak cucu keturunannya yang pada hakikatnya mencintai kakeknya baginda Rasulullah shallahu alaihiwasallam. Dan jelas di dalam al-Qur’an secara eksplisit Allah menyebutkan keutamaan para ahli bait Rasulillah serta menyucikan mereka.

Dan bagi dzurriyyat Rasulillah, alangkah bagusnya menjadi figur yang mengajarkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah. Jika mereka mengamalkan kebaikan, maka mereka akan memperoleh pahala dan keutamaan berganda lipat. Sebaliknya jika dengan posisi mereka sebagai ahli bait Rasulullah mengerjakan kemaksiatan tentu dosanya juga berkali lipat. Allah Maha Adil.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan kecintaan Rasulullah serta menjadi bagian orang yang mencintai ahli keluarga dzurriyyat beliau bukankah di setiap shalat ketika bershalawat kepada Rasulullah dan kepada ahli dzurriyyat aali Muhammad shallahu alaihi wassalam. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan