Selasa, 1 Januari 2019

Hukum Berthoriqoh

#Hukum_Berthoriqoh

Tanya : Apakah Wajib Hukum Mempelajari Tarekat ? Dan apakah semua Tarekat yang tergolong ke dalam Tarekat Mu’tabaroh (Tarekat yang telah diakui kebenarannya) dapat diikuti ?

Jawab : Syekh Muda Ahmad Arifin menegaskan bahwa wajib hukumnya mempelajari tarekat bagi setiap Muslim laki-laki dan Perempuan dan dihukumkan sesat orang-orang yang tidak mempelajari Tarekat. Kenapa mempelajari Tarekat dihukumkan wajib, karena tanpa bertarekat mustahil Allah dapat dikenal, itu sebabnya orang-orang yang tidak mempelajari Ilmu Tarekat dihukumkan sesat, karena mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah.

Meskipun Syekh Muda Ahmad Arifin mewajibkan bertarekat, namun pada saat yang sama ia juga menganjurkan untuk berhati-hati dalam memilih Tarekat. Agar sampai ke tempat yang dituju tentu kita harus bertarekat, sebab tanpa bertarekat mustahil kita akan sampai ke tempat tujuan.

Terdapat banyak jalan atau Tarekat yang dapat ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan. Oleh karena Tarekat itu bermakna jalan, maka jalan itu sendiri pun bermacam-macam; ada jalan datar, ada jalan mendaki, ada jalan yang lurus, ada jalan yang berkelok-kelok, ada jalan rusak, bahkan ada jalan yang buntu. Dari sekalian jalan yang ada tentu kita harus memilih jalan yang terbaik di antaranya.

Yang paling penting tentunya adalah kita harus tahu bahwa jalan (Tarekat) yang kita pilih adalah jalan yang dapat menyampaikan kita ke tempat yang kita tuju, sebab bila kita tidak tahu jalan atau salah memilih jalan tentu kita akan tersesat dan tidak akan sampai ke tempat tujuan.

Demikian halnya dengan Tarekat, menurut Syekh Muda Ahmad Arifin tidak semua Tarekat itu benar dan dapat diikuti. Oleh sebab itu kita harus selektif dalam memilih Tarekat, sebab Tarekat itu banyak macamnya.

Menurut Abubakar Aceh, bahwa di Indonesia telah ada badan yang khusus menumpahkan perhatiannya kepada Tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarannya.

Hal ini dinamakan dengan Tarekat Mu’tabaroh. Seorang tokoh Tarekat terkemuka, Syekh H. Jalaluddin, telah banyak menulis tentang Tarekat-tarekat, terutama tentang Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah.

Syekh H. Jalaluddin mengemukakan bahwa di antara Tarekat yang mu’tabar itu ada 41 macam, yaitu : Tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Rifa’iyyah, Ahmadiyyah, Dasukiyyah, Akhbariyyah, Maulawiyyah, Qubrawiyyah, Suhrawardiyyah, Khalwatiyyah, Jalutiyyah, Bakhdasiyyah, Ghazaliyyah, Rumiyyah, Jastiyyah, Syabaniyyah, ‘Alawiyyah, Usyaqiyyah, Bakriyyah, Umariyyah, Usmaniyyah, ‘Aliyyah, Abbasiyyah, Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghaibiyyah, Hadiriyyah, Syattariyah, Bayumiyyah, Aidrusiyyah, Sanbliyyah, Malawiyyah, Anfasiyyah, Sammaniyyah, Sanusiyyah, Idrisiyyah, Badawiyyah.

Bahkan menurut pengamatan Martin Van Bruinessen, di Indonesia terdapat macam-macam Tarekat dan organisasi yang mirip Tarekat. Beberapa di antaranya hanya merupakan Tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan guru tertentu, umpamanya Wahidiyyah dan Siddiqiyyah di Jawa Timur atau Tarekat Syahadatin di Jawa Tengah, sehingga untuk menarik garis perbedaan yang tegas antara Tarekat semacam ini dengan aliran kebatinan hampir-hampir mustahil.

Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, tidak ada jaminan bahwa Tarekat-tarekat yang dianggap mu’tabaroh (yang telah diselidiki kebenarannya) dapat dijadikan sebagai jaminan bahwa Tarekat-tarekat tersebut adalah Tarekat yang benar yaitu Tarekat yang dapat menyampaikan pengenalan kepada Allah. Jadi sesungguhnya orang yang bertarekat sekalipun belum tentu ada jaminan bahwa dengan Tarekatnya itu ia dapat mengenal Allah. Kalau orang yang bertarekat saja belum tentu dapat mengenal Allah, apalagi orang yang tidak bertarekat, tentu mustahil dapat mengenal Allah, sebab tanpa berjalan (bertarekat) mustahil ia sampai ke tempat yang dituju.

Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin ada tiga syarat suatu Tarekat dianggap benar dan dapat diikuti. Apapun nama Tarekatnya tidak boleh diterima bila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi :

1.  Silsilah Tarekatnya harus dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib. Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, apapun nama Tarekatnya bila silsilahnya tidak dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib, maka Tarekatnya tidak boleh diterima. Harus ada pembuktian berupa Hadis dari Nabi bahwa sahabat tersebut telah terbukti menerima Tarekat dari Nabi. Adapun Hadis yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :

وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ  وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ .

“Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah?

Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah.

Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah?

Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.

Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah. Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata :

رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ

“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.

Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata :

اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا

“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah.

Kemudian Ilmu Tarekat ini Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada Daud Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi.

Kemudian timbulah menjadi ilmu pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf.

Jadi syarat utama untuk menjadi seorang guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai maqam fana fillah dan tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini.

Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima, apalagi bila ada tokoh suatu pendiri Tarekat yang mengaku bahwa ia telah menerima Tarekat dari Nabi secara langsung lewat mimpi, maka itu adalah hal yang mustahil.

Sebagai contoh adalah Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh  Syekh Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Mukhtar al-Tijani. Ia lahir di Mahdi pada tahun 1150 M dan wafat tahun 1230 M.

Hasrat al-Tijani untuk mengembangkan ajaran Tarekatnya adalah bermula dari pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW lewat mimpinya. Ia mendapatkan pelajaran dari Nabi SAW tentang beberapa wirid dan zikir, kemudian diberikannya ijazah untuk diajarkan kepada orang lain. Oleh sebab itu kita perdapati di dalam silsilahnya dari Nabi langsung ke al-Tijani, karena ia telah memperoleh Tarekat secara langsung lewat mimpi. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bodohlah tentunya yang mau menerima ajaran Tarekatnya, sebab apabila Ilmu Tarekat dapat diperoleh lewat mimpi atau ilham, maka batallah Hadis Nabi yang mewajibkan kaum muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu.

2.  Kebenaran ajaran Tarekatnya harus dapat diuji, tidak bertentangan dengan akal dan tidak bertentangan dengan Ilmu Syari’at serta harus berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah. Kebenaran suatu Tarekat dapat diketahui lewat ajaran-ajaran yang disampaikan sang mursyid yang menjadi pemimpin Tarekat tersebut.

Tujuan orang bertarekat adalah untuk mengenal yang ghaib yaitu Allah. Bagi Ahli Tarekat Allah itu tidak ghaib, maka apabila sang mursyid dengan ajaran Tarekatnya tidak dapat menyingkap yang ghaib (Allah) itu menjadi nyata bagi murid-muridnya, maka Tarekatnya tidak boleh diterima. Sebagai contoh misalnya, ketika mengucapkan dua kalimah syahadat, sang mursyid harus dapat mempraktekkan bagaimana cara menyaksikan Allah, agar sesuai antara ucapan dan perbuatan. Apabila bagi sang mursyid sendiri Allah itu masih ghaib bagaimana mungkin ia dapat menyampaikan pengenalan tentang Allah kepada murid-muridnya.

Selain itu ajaran Tarekat yang disampaikan oleh sang mursyid tidak boleh bertentangan dengan akal dan syari’at agama.

Oleh sebab itu Syari’at harus tunduk kepada Hakikat dan begitu juga Hakikat harus tunduk kepada Syari’at dan kedua-duanya tidak boleh ada pertentangan dan saling menyalahi.

3.  Harus ada pembuktian berupa ijazah dari guru sebelumnya. Salah satu syarat untuk menjadi mursyid yang bertugas sebagai penyampai Ilmu Tarekat adalah harus memperoleh ijazah atau izin dari guru sebelumnya. Pemberian ijazah ini sesuai dengan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh sang murid.

Ada dua jenis ijazah yang diberikan kepada murid dengan gelar yang berbeda. Ijazah dengan gelar ”Khalifah” diberikan oleh sang mursyid bila murid tersebut dianggap telah memenuhi syarat sebagai Khalifah.

Adapaun ijazah dengan gelar ”Syekh” hanya diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah. Berdasarkan perbedaan gelar tersebut, maka peran dan fungsinya juga berbeda.

Murid yang memperoleh gelar Khalifah hanya diberi izin sebatas memberikan bai’at dan memimpin pelaksanaan tawajjuh, namun ia tidak diberi izin untuk memimpin khalwat/persulukan bagi murid-muridnya, sebab hanya mereka yang telah mencapai tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah yang dapat memimpin khalwat.

Adapun murid yang telah memperoleh ijazah dengan gelar ”Syekh”, maka ia diberi izin untuk memberikan bai’at dan memimpin khalwat bagi murid-muridnya. Oleh sebab itu seorang Khalifah hanya dapat memberikan gelar Khalifah kepada murid-muridnya dan tidak dapat memberikan gelar ”Syekh” kepada murid-muridnya.

Sebaliknya seorang Syekh dapat memberikan gelar ”Syekh” dan ”Khalifah” kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu maju dan mundurnya suatu Tarekat bergantung pada kualitas murid-muridnya. Murid yang berkualitas adalah murid yang bersungguh-sungguh di dalam belajar.

Hanya murid-murid yang berkualitaslah yang dapat mencapai maqam fana fillah. Apabila maqam tersebut tidak dapat dicapai oleh murid-murid yang menjadi penerus Tarekat dikemudian hari maka hal ini akan mengakibatkan kemunduran Tarekat tersebut.

Inilah yang menjadi penyebab mengapa suatu Tarekat yang dahulunya memiliki kemasyhuran semasyhur pemimpin Tarekatnya, malah justru belakangan hari oleh para penerusnya Tarekat tersebut tidak memiliki kemasyhuran lagi dan mungkin tidak berbobot lagi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu Tarekat.

Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”.

Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori.

Oleh sebab itu Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat. Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :

عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ

“Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)

Berdasarkan keterangan Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh.

Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :

مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ

“Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.

Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat dikenal.

Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita petunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan.

Dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat, apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam Tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.

Dengan bahasa yang lebih mudah, bila diibaratkan sebagai sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Allah tidak cukup hanya dengan pembuktian melalui dalil Naqli (Ayat-ayat dan Hadis) dan dalil Aqli (Akal) semata, akan tetapi untuk memperoleh pengenalan kepada Allah anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar anda mengenal Tuhan yang anda sembah sampai kepada tingkat makrifat yaitu dapat menyaksikan Allah SWT.

Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud.

Jangankan ilmu makrifat kepada Allah, yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli.

Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di Fakultas Kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (Dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli), maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.

Orang yang mengaku bisa mengenal Allah hanya dengan mengandalkan Ilmu Kalam dan membaca tentang agama dari bahan bacaan saja, serta kemudian mengingkari posisi penting Guru tidak lain karena kesombongan semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa mengenal Allah dengan hanya sekedar membaca.

Guru yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh pengakuan juga dari Guru sebelumnya, secara sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.

Apabila jalan kaum Sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan syekh Izuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia Tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah”.

Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar Syari’at kemudian memasuki dunia Tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan)”.

Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang mengenal Allah SWT., sebagaimana ucapan rendah hati Musa kepada Khaidir, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(Q.S. al-Kahfi : 66).

Iman Al-Ghazali juga mencari seorang Syekh yang menunjukkan ke jalan Tasawuf/Tarekat, padahal ia adalah Hujjatul Islam.

Begitu juga, Syekh Izuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”.

Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar ini, yakni Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang Syari’at, maka orang selain mereka tentu lebih membutuhkan lagi.”

Jadi tidaklah berlebihan jika para Sufi mengatakan bahawa mempelajari Ilmu Tarekat itu wajib hukumnya sekalipun sebesar-besar ulama :

طَلِبُ الشَّيْخُ وَجِبٍ عَلَى كُلِّ مُرِيْدٍ وَلَوْ مِنْ اَكْبَرِالْعُلَمَاءِ

“Bermula belajar kepada Syaikh (menuntut ilmu Tarekat) itu wajib hukumnya walau sebesar-besar ulama.”

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mempelajari Ilmu Tarekat. Makna wajib di sini yaitu tidak boleh tidak, sebab tanpa bertarekat mustahil kita dapat mengenal Allah dan orang yang tidak kenal Allah sudah barang tentu “sesat” sebab ia tidak mengenal yang disembahnya, maka seluruh amal ibadahnya sia-sia dan tak akan dapat melepaskan azab Allah sebagaimana Hadis Nabi :

لاَتَصِحُّ الْعِيْبَدَةُ اِلاَّ بِمَعْرِفَةُ اللهِ

“Tidak sah amal ibadah tanpa pengenalan kepada Allah"

Oleh sebab itu siapa saja orang yang mengaku beragama Islam dan beriman kepada Allah, maka ia harus memiliki guru yang dapat mengenalkan ia kepada Allah, atau dengan kata lain, ia harus bertarekat atau bertasawuf.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Malik :

مَنْ تَفَقَّهَ بِغَيْرِ تَصَوُّفٍ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَصَوُّفَ بِغَيْرِ تَفَقُّهٍ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ  

Barangsiapa mempelajari fiqih saja tanpa mempelajari tasawuf maka dihukumkan fasiq, dan barangsiapa mempelajari tasawuf saja tanpa mempelajari fiqih maka dihukumkan zindiq (menyimpang dari ajaran agama). Dan barangsiapa yang mempelajari kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang sesungguhnya.

Imam Malik berpendapat demikian karena dilatarbelakangi oleh Sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ

“Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah).

Maka i’tibar yang kita ambil dari keterangan Imam Malik tersebut, bahwa siapapun diantara orang Islam yang tidak bertasawuf dengan melakukan aqidah dan syariah, hukumnya ialah fasik.

Setiap larangan untuk meninggalkannya, berarti perintah untuk melakukannya. Pokok pengertian tentang perintah, hukumnya wajib.

Dalam hal ini Imam Ali Addaqqaq mengambil kesimpulan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Risalah al-Qusyairiah:

وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ حَقِيْقَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّهَا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ وَالْحَقِيْقَةُ أَيْضًاشَرِيْعَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّ الْمَعَارِفَ بِهِ سُبْحَانَهُ أَيْضًا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ.

Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya Syariat itu adalah Hakekat. Bahwa sesungguhnya Syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. Demikian juga Hakekat adalah wajib hukumnya dan bahwa sesungguhnya terhadap mengenal Allah swt. adalah wajib hukumnya dikarenakan  perintah Allah.

Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari Guru Pembimbing (Mursyid) yang siap menuntun dan membimbing kita untuk mencapai pengenalan kepada Allah SWT. carilah Guru yang  benar-benar kammil-mukammil, yang tidak hanya pandai berbicara tentang teori ketuhanan, tetapi juga ahli di dalam praktek bertauhid yang dapat mengenalkan anda kepada Allah yang ghaib, sehingga anda dapat beribadah secara khusyuk karena anda telah mengenal Tuhan yang anda sembah.

Abu Atha’ilah as-Sakandari dalam Latha’if al-Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan Mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.

Berdasarkan penjelasan di atas cukup jelas bagi kita bahwa mempelajari Tarekat hukumnya adalah wajib. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mengetahuinya, dan kalau pun mereka mengetahuinya, mereka akan tetap enggan untuk mempelajarinya.

Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin ada empat sebab orang tidak mau mempelajari Tarekat :

Jika seorang Guru Besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi murid.

Jika orang pintar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi bodoh.

Jika orang besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi kecil

Jika orang tua kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi anak-anak.
Keempat hal di atas merupakan penyebab utama yang membuat orang enggan untuk bertarekat meskipun mereka mengetahui kebenaran ajaran dari suatu Tarekat.

Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuknya kepada kita semua. Amin.

Cpf

3 ulasan:

  1. mohon maaf siapa anda sampai berkata sesat
    siapa anda di mata allah
    semoga gelar yg terhormat menjadi sikap yg terhormat pula

    BalasPadam
    Balasan
    1. Bila ingin tau siapa dia di mata ALLAH, tentunya anda tanyakan kpd ALLAH.
      Apakah mungkin ibadah sholat yg di kerjakan sampai kpd ALLAH SWT, sementara di dalam hati ada tuhan yg lain.
      Paham kan yg di Maksudnya tuhan yg lain

      Padam
  2. Rasa.?
    Tanpa rasa, sulit bagi kita utk mengenal tuhan yg kita sembah.
    Kalau sekedar tulisan dan ucapan, semua manusia pasti bisa..

    BalasPadam